![]() | |
| Bapak pengamen jalanan yang bernyanyi dengan hati. :) |
Satu kali saat sedang makan siang dengan dua adik kost-ku, Ririn dan Dita, konsentrasiku terpecah oleh suara berat yang merdu menyanyikan lagu lama "To Love Somebody" milik BeeGees dengan gitar kecil. Sebagaimana gitar mungil lainnya yang biasa dimainkan oleh para pengamen, gitar milik Bapak inipun tidak bersuara sejernih gitar akustik Yamaha misalnya, namun cara si Bapak memainkannya - entah bagaimana - terdengar berbeda. Tak lama kemudian Bapak dengan gitar kecil hijau ini beranjak ke tempat kami bertiga duduk, sebuah warung teda penjual lotek langganan, memainkan lagu berbeda dengan bahasa...emm...seperti pada lagu "Besame Muchos". Latin? Entah. Yang pasti, aku suka. Aku suka caranya memainkan gitarnya. Aku suka caranya bernyanyi, dengan tatap mata yang tampak sangat menghayati lagu yang Ia bawakan. Tidak seperti pengamen yang biasa kutemui, Ia tak berhenti dan beranjak pergi saat diberikan uang oleh salah satu adik kost-ku. Dengan senyum Ia melanjutkan lagunya, mengucapkan "Terima kasih" setelah usai, lalu berjalan pelan menjauh.
When I had lunch with Ririn and Dita, I heard somebody sang BeeGees' "To Love Somebody" with a guitar. It wasn't a good nice acoustic guitar, it was only a small green and old one. However, the old man sang it beautifully. He then stepped closer towards the three of us and sang "Besame Muchos". I just loved it. I loved the way he played his guitar. I can surely say, he sang with all his heart, I could see it through his eyes.
When I had lunch with Ririn and Dita, I heard somebody sang BeeGees' "To Love Somebody" with a guitar. It wasn't a good nice acoustic guitar, it was only a small green and old one. However, the old man sang it beautifully. He then stepped closer towards the three of us and sang "Besame Muchos". I just loved it. I loved the way he played his guitar. I can surely say, he sang with all his heart, I could see it through his eyes.
![]() | |||
| Pak Yoso, mengumulkan rongsokan dalam satu karung besar dan menunggu botol atau kaleng bekas minuman di depan salah satu mini-mart 24 jam ternama. :) |
Beberapa hari kemudian, tepatnya satu malam yang lalu, aku dan seorang temanku, Angitt, duduk di depan salah satu mini-mart 24 jam, menikmati bir dan membicarakan banyak hal. Keberadaan Bapak ini, dengan karung besar yang kubayangkan pastilah sangat berat, sudah menyita perhatianku sedari awal. Agak lama baru aku cukup peduli untuk membujuk temanku, "Tolong tanyakan padanya, laparkah Ia?". Harus kuakui, aku agak takut mendekati sang Bapak untuk menanyakannya langsung. Lagipula, entah sudah berapa tahun berlalu - sejak aku meninggalkan asrama - aku tak bersinggungan langsung dengan orang-orang yang sering mendapat julukan 'orang kecil'.
A few days later, exactly the night before today, my friend (Angitt) and I sat in front of a mini-mart; enjoying beer and talked of things. There was a man with a huge sack filled in with bottles and stuff and I could see how heavy it should be. It took me a while till I asked my friend to ask him whether he was hungry or not. I just didn't have the guts to do so that time for no reason. It was years ago when I last talked to strangers and those who are used to call as 'small people'.
Temanku cukup pintar, bersikeras untuk tidak menuruti mauku. Ia mengajarkanku secara tak langsung untuk memberanikan diri memenuhi inginku sendiri; menyapa sang Bapak dan menanyakan apakah Ia lapar. Bapak itu - yang kemudian kuketahui bernama Pak Yoso - menolak ditawari roti walau Ia mengakui sama sekali belum makan. Yang Ia minta hanya uang Rp.1.000,00 untuk membeli rokok, itupun setelah aku membujuknya dengan sangat perlahan untuk menyampaikan apa yang Ia inginkan. Sempat aku 'berkonsultasi' sebentar dengan temanku saat hendak membelikannya rokok dari mini-mart tempat kami berada. "Jangan dikasih uang, kalau uang dia juga punya. Lebih baik kamu kasih makanan, dia lebih butuh itu." Beberapa saat kemudian setelah keluar dari mini-mart dengan rokok dan roti, temanku sudah duduk bersamanya. Sepertinya aku tertinggal cukup banyak, melihat serunya percakapan mereka yang sayangnya tidak begitu dapat kumengerti karena dalam bahasa Jawa.
Angitt was smart enough for not obeying my will. He taught me to do what I wished to do. I then had the courage to greet him and ask him things. The old man refused the bread I offered him. Instead, he asked me for IDR 1,000 to buy a cigarette. I told my friend what he wished for and he simply said, "Do not give him money, he owes some. It is far better if you hand him some food, he needs that more." A few minutes later when I stepped out the mini-mart, I found out that the old man was having a conversation with that friend of mine. It looked like they left me far behind with things they were talking about that I could hardly understand because they spoke in Javanese language.
Aku hanya ikut duduk bersama mereka, mengamati wajah Pak Yoso, dan merasakan sesuatu yang 'hangat' setiap kali melihatnya tersenyum atau binar matanya diarahkan padaku atau temanku. Di akhir perbincangan, saat kami berdua hendak beranjak pulang, Ia menyatakan betapa senangnya Ia bila ada yang mengajaknya berbincang.
I then sat right beside them, looking at the old man's face (whose name was Yoso) and felt something warm inside every single time his eyes met mine or when he smiled towards Angitt. At the end of conversation, when both of us really should go home (for it was getting late), he told us how glad he was having companions to talk with.
A few days later, exactly the night before today, my friend (Angitt) and I sat in front of a mini-mart; enjoying beer and talked of things. There was a man with a huge sack filled in with bottles and stuff and I could see how heavy it should be. It took me a while till I asked my friend to ask him whether he was hungry or not. I just didn't have the guts to do so that time for no reason. It was years ago when I last talked to strangers and those who are used to call as 'small people'.
Temanku cukup pintar, bersikeras untuk tidak menuruti mauku. Ia mengajarkanku secara tak langsung untuk memberanikan diri memenuhi inginku sendiri; menyapa sang Bapak dan menanyakan apakah Ia lapar. Bapak itu - yang kemudian kuketahui bernama Pak Yoso - menolak ditawari roti walau Ia mengakui sama sekali belum makan. Yang Ia minta hanya uang Rp.1.000,00 untuk membeli rokok, itupun setelah aku membujuknya dengan sangat perlahan untuk menyampaikan apa yang Ia inginkan. Sempat aku 'berkonsultasi' sebentar dengan temanku saat hendak membelikannya rokok dari mini-mart tempat kami berada. "Jangan dikasih uang, kalau uang dia juga punya. Lebih baik kamu kasih makanan, dia lebih butuh itu." Beberapa saat kemudian setelah keluar dari mini-mart dengan rokok dan roti, temanku sudah duduk bersamanya. Sepertinya aku tertinggal cukup banyak, melihat serunya percakapan mereka yang sayangnya tidak begitu dapat kumengerti karena dalam bahasa Jawa.
Angitt was smart enough for not obeying my will. He taught me to do what I wished to do. I then had the courage to greet him and ask him things. The old man refused the bread I offered him. Instead, he asked me for IDR 1,000 to buy a cigarette. I told my friend what he wished for and he simply said, "Do not give him money, he owes some. It is far better if you hand him some food, he needs that more." A few minutes later when I stepped out the mini-mart, I found out that the old man was having a conversation with that friend of mine. It looked like they left me far behind with things they were talking about that I could hardly understand because they spoke in Javanese language.
Aku hanya ikut duduk bersama mereka, mengamati wajah Pak Yoso, dan merasakan sesuatu yang 'hangat' setiap kali melihatnya tersenyum atau binar matanya diarahkan padaku atau temanku. Di akhir perbincangan, saat kami berdua hendak beranjak pulang, Ia menyatakan betapa senangnya Ia bila ada yang mengajaknya berbincang.
I then sat right beside them, looking at the old man's face (whose name was Yoso) and felt something warm inside every single time his eyes met mine or when he smiled towards Angitt. At the end of conversation, when both of us really should go home (for it was getting late), he told us how glad he was having companions to talk with.
Betapa hal-hal sederhana yang bagi kita mungkin tak penting ternyata begitu menyentuh bagi sosok seperti pengamen bergitar hijau di atas atau Pak Yoso. Meminjam perkataan temanku, "...tak butuh uang, kalau uang mereka juga punya," mereka bahkan mungkin lebih bersyukur saat ada yang bersedia menyisihkan beberapa menit untuk berbincang dengan mereka, atau bahkan satu detik hanya untuk bertukar senyum.
How simple things - that we rarely think as big matters - can be so touching for those like the street singer or the old man Yoso. As my friend said, "...they don't need money, they owe it already," they even more thankful when there are people who are willing to let some minutes just to talk a little bit with them or even one second to give them a smile.
Until now, Yoso's smile still remain here in mind when we left and waved our hands. :)

